welcome

selamat datang kawan semoga nyaman di galeri saya

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 08 Juni 2013

pemikiran murjiah


PEMIKIRAN KALAM MURJI’AH DAN IMPLIKASI SOSIAL POLITIK
(Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam)

Disusun Oleh Kelompok Tiga :



Asyhar Rozak Al-Afgani
Azzahra Khoirunnida
Firman Septiadi
Maulana Abdul Aziz



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2012





BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aliran-aliran dalam khazanah keislaman rupanya berangkat dari persoalan politik. Peperangan argumentasi dan aliran pemikiran telah berhasil membuat islam menjadi semakin bercorak, penuh warna, diversitas, bahkan menjadi perbincangan mengenai aliran-aliran ini selalu hangat sampai saat ini. Dalam banyak hal, perbedaan aliran ini melahirkan banyak implikasi-implikasi dalam napas kehidupan islam sepanjang catatan sejarahnya. Baik dalam persoalan politik itu sendiri, maupun implikasi pada persoalan sosial.
Jika masih ada yang mengernyitkan kening ketika kata ‘Pemikiran Murji’ah’ bersenandung di telinga kita, maka perhatian yang cukup dalam perlu disimpan dalam hal ini. Penjeberannya, pembahasan, analisis masalah, literasi sejarah, dan implikasi yang terjadi menjadi bagian-bagian penting yang harus dipelajari mengenai pemikiran murji’ah ini. Karena argmentasi tanpa fakta tak lebih dari sekadar orang tua yang menghasut anaknya, supaya tidak jajan berlebihan ketika keuangan sudah kering.

1.2 Tujuan
Secara akademis, makalah ini dibuat sebagai sebuah jalan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam. Sedangkan secara teoritis, makalah ‘Pemikiran Murji’ah’ ini merupakan salah satu upaya untuk mengimplementasikan kemampuan penyusun, sebagai upaya sadar agar pemahaman mengenai objek kajian yang dimaksud menjadi lebih luas, dan memahami lebih detil pemahaman Kalam Murji’ah. Karena dengan paham, kita mampu menjadi pribadi yang lebih bisa menghargai pendapat orang lain, toleransi terhadap diversitas yang terjadi, dan wawasan menjadi bertambah tidak hanya kaku pada satu pemahaman saja. Di samping melatih kemampuan penyusun, dalam rangka proses kemampuan menulis makalah.

1.3 Rumusan Masalah
a. Apa definisi Pemahaman Aliran Murji’ah?
b. Bagaimana sejarah timbulnya Aliran Murji’ah?
c. Apa saja sekte-sekte dalam Aliran Murjiah?
d. Bagaimana implikasi Pamahaman Murji’ah yang terjadi dalam bidang sosial politik?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Aliran Murji’ah
Murji’ah berasal dari kata arja’a yang artinya menunda, menangguhkan, atau memberi pengharapan. Murji’ah merupakan golongan yang menangguhkan masalah orang yang mengerjaan dosa besar sampai hari kiamat, dan memberi pengharapan bagi pelaku dosa besar. Karena jika diampuni Tuhan, ia akan masuk surga, dan jika tidak, maka neraka adalah tempat terindah bagi pelaku dosa besar.

2.2 Sejarah Timbulnya Pemikiran Murji’ah
Flash back yang terjadi sebelum Aliran Murji’ah lahir, adalah ketika kaum Khawarij sebagai penyokong ‘Ali tapi kemudian berbalik haluan menjadi musuhnya. Karena adanya perlawan ini, orang-orang yang tetap setia mendukung ‘Ali menjadi semakin ekslusif dalam dukungannya, sehingga menjadi satu aliran baru bernama Syi’ah. Setelah ‘Ali mati terbunuh, Syi’ah semakin menampakkan kefanatikannya. Meskipun Khawarij dan Syi’ah sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayah, tetapi keduanya memiliki motif yang berbeda. Khawarij menentang Dinasti Umayah, karena menilai mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran islam. Sedangkan Syi’ah, berdalih pada kedudukan mereka yang telah merampas kekuasaan dari ‘Ali dan keturunannya.
Dalam suasana pertentangan seperti ini, timbul satu golongan baru yang ingin bersikap netral, tidak ingin berintervensi dalam golongan yang saling kafir-mengkafirkan satu sama lain. Kelompok ini tumbuh di tengah-tengah ramainya perdebatan tentang dosa besar, apakah ia mukmin atau bukan. Orang Khawarij mengatakan kafir, orang Mu’tazilah mengatakan bukan mukmin yang kadang-kadang disebut muslim, Hasan Bashri dan para pengikutnya mengatakan munafik, karena perbuatan adalah perwujudan hati dan bukan lidah sebagai perwujudan lisan. Kebanyakan ulama mengatakan pelaku dosa besar itu mukmin yang bermaksiat dan urusannya di tangan Allah. Jelas ia dikehendaki maka disiksa sesuai dengan dosanya, jika tidak maka dimaafkan-Nya . Kelompok Murji’ah menyatakan bahwa dosa tidak mempengaruhi iman sebagaimana taat tidak mempengaruhi kekafiran. Di antara para penganutnya mengatakan bahwa pelaku dosa besar ditangguhkan hukumannya sampai hari hari kiamat. Mereka bertemu dengan sekelompok besar ulama sunni, akan tetapi ketika mereka diperiksa, ternyata apa yang menjadi argumen mereka memiliki relevansi yang sama dengan pendapat mayoritas para ulama. Bagi mereka, orang yang bertentangan itu merupakan orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan argumen tentang siapa yang benar, atau siapa yang salah. Yang pada akhirnya lebih baik menunda (arja’a) penyelesaian persoalan ini sampai hari perhitungan kelak di hadapan Tuhan.
Dengan demikian, kaum Murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau campur tangan dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi kala itu, dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang bertentangan itu kepada Allah swt.
Aliran ini timbul di Damaskus pada akhir abad pertama hijrah. Meskipun berangkat dari persoalan politik, rupanya golongan ini juga merambah pada aspek-aspek lain, seperti Teologi. Pembahasan-pembahasan mengenai dosa besar yang ditimbulkan kaum khawatij, menjadi titik perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Sebagaimana gerbang terdepan mereka, mereka mengambil jalan sederhana mengenai persoalan dosa besar dengan cara menundanya sampai hari pertanggungjawaban kelak. Argumentasi yang mereka pegang adalah, orang islam yang melakukan dosa besar, mereka tetap mengakui Allah sebagai Tuhannya, dan Muhammad sebagai nabinya, sebagai dasar utama dalam iman. Oleh karena itu, menurut mereka muslim berdosa besar tetap muslim dan tidak secara otomatis menjadi kafir.
Substansi dari argumen semacam ini membawa pemahaman bahwa iman adalah yang utama, dan amal menjadi nomor kedua. Perbuatan tidak dapat dipakai sebagai ukuran untuk menentukan kafir tidaknya seseorang, karena imanlah yang menentukan. Keyakinan dalam hatilah yang terpenting, dan yanga da dalam hati manusia hanya Tuhan dan dirinya sendiri yang tahu. Manusia hanya bisa mengetahui dari apa yang diucapkan manusia, dan ucapan manusia belum tentu relevan dengan apa yang tersembunyi dalam hatinya.
Orang-orang Murji’ah berkata tentang orang-orang yang berselisih : “mereka bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan Muhammad sebagai Rosulullah, maka mereka bukan orang-orang kafir atau musyrik, mereka adalah muslim. kami serahkan urusan mereka kepada Allah yang Mahatahu rahasia-rahasia manusia dan Ia-lah yang menilai mereka” . Inilah pendapat yang tidak harus diragukan, yaitu agar tidak berkepanjangan dalam perselisihan. Mereka menyerahkan soal pelaku dosa besar kepada Allah, mungkin di antara mereka ada yag dihapus dosanya, dan digantikan dengan kebaikan. Akan tetapi, yang menjadi problem dari aliran ini adalah para penerus mereka yang tidak berhenti pada batas penangguhan yang bersifat pasif, malah mereka menentukan bahwa dosa tidak mempengaruhi iman dan kebenaran tidak terpengaruh oleh maksiat. Iman terpisah dari amal, bahkan di antar mereka ada yang ekstrim, yang berpendapat bahwa iman adalah keyakinan dalam hati, maka apabila menyatakan diri kafir dengan lidahnya, menyembah berhala, menjalankan segala perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani, kemudian ia mati, maka ia tetap mukmin sepenuhnya dan termasuk ahli surga.
Tampak di sini bahwa mereka telah melewati batas dalam menilai amal dan hubungannya dengan iman, dan kausalitasnya terhadap surga dan neraka. Mereka juga menyepelekan pangkal keimanan dengan menyatakan bahwa iman hanyalah kepatuhan dalam hati. Menurutnya, kepatuhan ini berarti rukun iman. Artinya, meskipun tidak tahu ka’bah di mana dan tidak tahu babi itu seperti apa, tidak akan merusak iman. Dalam beberapa hal memang tidak merusak iman, tapi merusak amal. Analogi ka’bah dan babi, berangkat dari pendapat sebagian dari mereka, yang mengatakan, “aku tidak tahu apalah maksdu babi yang dilarang Allah untuk dimakan itu, apakah domba yang ini atau bukan” ; ia tetap iman. Atau mengatakan, “Allah memerintahkan untuk beribadah menghadap ka’bah, tapi aku tak tahu ka’bah itu di mana, apakah di India, atau di mana” ; ia tetap beriman. Padahal, orang berakal tidak akan meragukan di mana letak ka’bah, dan mampu membedakan mana domba dan babi, karena perbedaan kedua hewan ini jelas.

2.3 Pokok-pokok Pemikiran Murji’ah
Pokok pikiran merupakan substansi yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya, meskipun sama-sama islam. Sebagai contoh, sepasang anak kembar memiliki cara berpikir dan bertindak yang berbeda, meskipun dalam beberapa sisi terdapat kesamaan.
Menurut Harun Nasution, ada empat pokok ajaran Murji’ah, yaitu :
a. Menunda hukuman atas Ali, Muawwiyah, Amr bin Ash dan Musa Al-Asy’ary yang terlibat dalam tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
b. Menyerahkan keputusan Allah atas orang islam yang berbuat dosa besar.
c. Meletakkan pentingnya iman daripada amal.
d. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat Allah swt.

2.4 Sekte-sekte Aliran Murji’ah
Pada umumnya, kaum Murji’ah dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim.
Golongan moderat berpendapat orang berdosa besar bukanlah kafir, dan tidak akan kekal dalam neraka. Hukuman yang diberikan sesuai dengan beratnya dosa, bahkan mungkin saja Allah akan mengampuninya, sehingga tidak akan masuk neraka sama sekali. Dalam golongan ini, beberapa nama yang dikenal antara lain Al-hasan ibn ‘Ali ibn Abi Thalib, Abu hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis.
Sedangkan golongan ekstrim berpendapat bahwa iman itu terletak dalam hati dan tidak ada seorang pun yang tahu. Karena itu, ucapan dan perbuatan maksiat tidak akan merusak imannya. Menurut golongan ini, orang islam yang percaya pada Tuhannya dan menyatakan kekufurannya lewat lisan, ia tak lantas menjadi kafir, karena kufr dan iman tempatnya dalam hati, bukan bagian dari tubuh manusia.
Secara lebih rinci, kaum Murji’ah terpecah menjadi beberapa golongan sebagai berikut :
a. Al-Yunusiyah
Sekte ini dipimpin oleh Yunus bin Aum An-Numairy. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam sekte ini antara lain :
1) Maksiat tidak membahayakan kalau iman masih ada, meninggalkan ketaatan tidak merusak kalau ma’rifat masih ada.
2) Iblis itu mengenal Allah, tetapi ia kafir karena sombong
b. Al-Ubaidiyah
Sekte ini dipimpin oleh Al-Ubaid Al-Muktab. Di antara ajarannya adalah, pernyataan bahwa Ilmu Allah, Kalam Allah, dan Agama Allah merupakan yang lain daripada-Nya.
c. Al-Ghasaniyah
Sekte ini dipimpin oleh Ghasan Al-Kaufi. Menurutnya, iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
d. Asy-Syabaniah
Sekte ini dipimpin oleh Syauban Al-Murji. Mereka tidak menegaskan seorang mukmin yang berdosa akan keluar dari siksa api neraka.
e. At-Tumaniyah
Sekte ini dipimpin oleh Abu Muas At-Taumiyah. Menurut mereka, orang yang meninggalkan salat dan menghalalkan meninggalkannya adalah kafir. Tetapi jika diniatkan akan dikada, maka tidaklah kafir.
f. Ash-Shalihiyah
Sekte ini dipimpin oleh Abu Amir As-Shalihi. Ajaran yang dimiliki golongan ini antara lain, yang disebut zakat, puasa dan haji itu hanyalah digambarkan sebagai kepatuhan belaka dan tidak dimasukan dalam perkara ibadah kepada Allah, sebab yang dianggap ibadah adalah iman.
g. Al-Jahmiyah
Sekte ini dipimpin oleh Jahm ibn Shafwan. Menurut mereka, Alquran adalah makhluk Allah. Jadi, Alquran itu baru dan Tuhan tidak dapat dilihat walaupun di akhirat.

2.5 Implikasi Pemikiran Murji’ah dalam Dunia Sosial-Politik

BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer