welcome

selamat datang kawan semoga nyaman di galeri saya

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 08 Juni 2013

makalah filsafat dan agama


MAKALAH FILSAFAT DAN AGAMA

A. Pendahuluan
Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara berlawanan oleh banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu, banyak kaitan dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat mebahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu logis atau bukan. Agama tidak selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang-kadang tidak terlalu memperhatikan aspek logisnya.
Perbedaan tersebut menimbulkan konflik berkepanjangan antara orang yang cenderung berfikir filosofis dengan orang yang berfikir agamis, pada hal filsafat dan agama mempunyai fungsi yang sama kuat untuk kemajuan, keduanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Untuk menelusuri seluk-beluk filsafat dan agama secara mendalam perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan agama dan filsafat itu.
Salah satu kebiasaan dunia pene-litian dan keilmuan, berfungsi bahwa penemuan konsep tentang sesuatu ber-awal dari pengetahuan tentang satuan-satuan. Setiap satuan yang ditemukan itu dipilah-pilah, dikelompokkan ber-dasarkan persamaan, perbedaan, ciri-ciri tertentu dan sebagainya. Berdasarkan penemuan yang telah diverivi-kasi itulah orang merumuskan definisi tentang sesuatu itu.
Dalam sejarah perkembangan pemikirian manusia, filsafat juga bukan diawali dari definisi, tetapi diawali dengan kegiatan berfikir tentang segala sesuatu secara mendalam. [1] Orang yang berfikir tentang segala sesuatu itu tidak semuanya merumuskan definisi dari sesuatu yang dia teliti, termasuk juga pengkajian tentang filsafat.
Jadi ada benarnya Muhammad Hatta dan Langeveld mengatakan "lebih baik pengertian filsafat itu tidak dibicarakan lebih dahulu. Jika orang telah banyak membaca filsafat ia akan mengerti sendiri apa filsafat itu. [2] Namun demikian definisi filsafat bukan berarti tidak diperlukan. Bagi orang yang belajar filsafat definisi itu juga diperlukan, terutama untuk memahami pemikiran orang lain.
Dengan demikian, timbul pertanyaan siapa yang pertama sekali memakai istilah filsafat dan siapa yang merumuskan definisinya. Yang merumuskan definisinya adalah orang yang datang belakangan. Penggunaan kata filsafat pertama sekali adalah Pytagoras sebagai reaksi terhadap para cendekiawan pada masa itu yang menama-kan dirinya orang bijaksana, orang arif atau orang yang ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah pendapat orang-orang tersebut Pytagoras mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan tercapai oleh manusia. [3]
Semenjak semula telah terjadi perbedaan pendapat tentang asal kata filsafat. Ahmad Tafsir umpamanya mengatakan filsafat adalah gabungan dari kata philein dan sophia. Menurut Harun Nasution kedua kata tersebut setelah digabungkan menjadi philosophia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti cinta hikmah atau kebijaksanaan.
Orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa mereka dan menyesuaikannya dengan susunan kata bahasa Arab, yaitu falsafa dengan pola fa`lala. Dengan demikian kata benda dari falsafa itu adalah falsafah atau filsaf.
Dalam al-Quran kata filsafat tidak ada, yang ada hanya adalah kata hikmah. Pada umumnya orang mema-hami antara hikmah dan kebijaksanaan itu sama, pada hal sesungguhnya maksudnya berbeda. Harun Hadiwijono mengartikan kata philosophia dengan mencintai kebijaksanaan, [4] sedangkan Harun Nasution mengartikan dengan hikmah. [5] Kebijaksanaan biasanya diartikan dengan pengambilan keputusan berdasarkan suatu pertimbangan tertentu yang kadang-kadang berbeda dengan peraturan yang telah ditentukan. Adapun hikmah sebenarnya diungkapkan pada sesuatu yang agung atau suatu peristiwa yang dahsyat atau berat. [6] Namun dalam konteks filsafat kata philosophia itu merupakan terjemahan dari love of wisdom. [7]
Dari pengertian kebahasaan itu dapat dipahami bahwa filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Tetapi pengertian itu belum memberikan pemahaman yang cukup, karena maksudnya belum dipahami dengan baik. Pemahaman yang mendasar tentang filsafat diperoleh melalui pengertian. Karena berbagai pandangan dalam melihat sesuatu menyebabkan pandangan pemikir tentang filsafat juga berbeda. Oleh sebab itu, banyak orang memberikan pengertian yang berbeda pula tentang filsafat.
Herodotus mengatakan filsafat adalah perasaan cinta kepada ilmu kebijaksanaan dengan memperoleh keahlian tentang kebijaksanaan itu. [8] Plato mengatakan filsafat ada-lah kegemaran dan kemauan untuk mendapatkan pengetahuan yang luhur. Aristoteles (384-322 sm) mengatakan filsafat adalah ilmu tentang kebenaran.
Itulah di antara definisi yang dikemukakan oleh filosof. Perbedaan itu definisi itu menimbulkan kesan bahwa perbedaan itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti latar belakang sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Jika disadari, perbedaan pendapat itu adalah wajar karena perkembangan ilmu pengetahuan menimbulkan berbagai spesialisasi ilmu yang sesungguhnya terpecah dari filsafat pada umumnya dan selanjutnya muncullah filsafat khusus, seperti filsafat politik, filsafat akhlak, filsafat agama dan sebagainya.
Dengan demikian diketahui betapa luasnya lapangan filsafat. Tetapi walaupun telah terjadi berbagai pemikiran dalam filsafat yang berbentuk umum menjadi berbagai bidang filsafat tertentu, ternyata ciri khas filsafat itu tidak hilang, yaitu pembahasan bersikap radikal, sistematis, universal dan bebas. Dengan demikian dalam pembahasan ini semua prinsip itu memang diperlukan dalam mengkaji berbagai hal tentang agama sehingga hasil itu disebut filsafat agama.
Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskrit “a” yang berarti tidak dan “gam” yang berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam kehidupan manusia. [9] Ternyata agama memang mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi orang-orang tertentu, selalu menjadi pola hidup manusia. Dick Hartoko menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat. [10] Kata religi berasal dari bahasa Latin rele-gere yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama me-mang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain kata religi berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaan agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. [11] Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.
Sidi Gazalba mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata relegere asal kata relgi mengandung makna berhati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan dalam religi terdapat norma-norma dan aturan yang ketat. Dalam religi ini orang Roma mempunyai anggapan bahwa manusia harus hati-hati terhadap Yang kudus dan Yang suci tetapi juga sekalian tabu. [12] Yang kudus dipercayai mempunyai sifat baik dan sekaligus mempunyai sifat jahat.
Religi juga merupakan kecenderungan asli rohani manusia yang berhubungan dengan alam semseta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir hakikat dari semua itu. Religi mencari makna dan nilai yang berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal. Karena itulah religi tidak berhubungan dengan yang kudus. Yang kudus itu belum tentu Tuhan atau dewa-dewa. Dengan demikian banyak sekali kepercayaan yang biasanya disebut religi, pada hal sebenarnya belum pantas disebut religi karena hubungan antara manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religi-religi yang bersahaja dan Budhisma dalam bentuk awalnya misalnya menganggap Yang kudus itu bukan Tuhan atau dewa-dewa. Dalam religi betapa pun bentuk dan sifatnya selalu ada penghayatan yang berhu-bungan dengan Yang Kudus. [13]
Manusia mengakui adanya ketergantungan kepada Yang Mutlak atau Yang Kudus yang dihayati sebagai kontrol bagi manusia. Untuk mendapatkan pertolongan dari Yang Mutlak itu manusia secara bersama-sama men-jalankan ajaran tertentu.
Jadi religi adalah hubungan antara manusia dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu terdiri atas ber-bagai kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga, dan bisa pula berbentuk pribadi manusia.
Setelah diketahui pengertian masing-masing dari agama dan filsafat, perlu diketahui apa sebenarnya pengertian filsafat agama. Harun Nasution mengemukakan bahwa filsafat agama adalah berfikir tentang dasar-dasar agama menurut logika yang bebas. Pemikiran ini terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:
Pertama membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis tanpa terikat kepada ajaran agama, dan tanpa tujuan untuk menyatakan kebenaran suatu agama. Kedua membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis dengan maksud untuk menyatakan kebenaran suatu ajaran agama atau sekurang-kurangnya untuk menjelaskan bahwa apa yang diajarkan agama tidaklah mustahil dan tidak bertentangan dengan logika. [14] Dasar-dasar agama yang dibahas antara lain pengiriman rasul, ketuhanan, roh manusia, keabadian hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, soal kejahatan, dan hidup sesudah mati dan lain-lain. Oleh sebab itu pengertian filsafat agama adalah berfikir secara kritis dan analitis menurut aturan logika tentang agama secara mendalam sampai kepada setiap dasar-dasar agama itu..
B. Filsafat Yahudi
Yahudi merupakan “dunia” kecil yang tersendiri sebelum pengaruh Kristen, mengapa dikatakan “dunia” yahudi karena yahudi memiliki kitab suci yang berisi ajaran dan praktek keagamaan dan menyakini sebagai bangsa yang terpilih oleh Tuhan (Yahwe) sehingga berdasarkan kenyakinan itu masyarakat yahudi merupakan masyarakat tersendiri.
Meskipun ”dunia” kecil yang tersendiri namun banyak para masyarakat merantau di dunia zaman itu. Di Iskandariah terdapat orang-orang yahudi yang berkenalan dengan keadaan yunani sehingga dapat dikatakan bahwa pengaruh yahudi masuk kedalam yunani atau tidak salah dikatakan dunia yahudi kemasukan dunia yunani).
Iskandariah merupakan kota besar dan pusat perdaganag pada masa itu sehingga disana tempat terjadinya pertukaran, penimbunan barang dan terjadi pula pertukaran harta benda rohani. Pada permulaan tarikh Masehi orang yahudi kira-kira hampir 1.000.000 orang di Iskandariah, dimana masyarakat yahudi telah membaur dengan keadaan disana bahkan anak-anak mereka masuk keperguruan tinggi yang banyak mengkaji tentang filsafat yunani.
Aristobulus pada tahun 150 SM, dengan keberanian mengarahkan bahwa filsafat yunani itu menurut asal mulanya berasal dari kitab suci yahudi. Untuk membuktikannya ia mencoba menerangkan dengan cara-cara penganut Stoa, yaitu dengan mengemukakan bahwa yang terdapat dalam kitab suci itu harus diterima sebagai lambang saja. [15]
C. Neo-Platonisme Plotinus
Neoplatonisme dibangun oleh Plotinus (204-70 SM) yang merupakan filosof besar fase terakhir Yunani. neoplatonisme merupakan rangkaian terakhir dari fase Helenisme Romawi, yaitu suatu fase pengulangan ajaran Yunani yang lama, jadi aliran ini masih berkisar pada filsafat Yunani, yang teramu dalam mistik (tasawuf Timur), dan juga digabung dengan berbagai aliran lain yang mendukung. Akibatnya, di dalamnya kadang terjadi tabrakan antara filsafat Yunani dengan agama-agama samawi. neoplatonisme ini terdapat unsur-unsur Platonisme, Phytagoras, Aristoteles, Stoa, dan mistik Timur, jadi, berpadu antara unsur-unsur kemanusiaan, keagamaan dan mistik. [16]
Aliran yang berupaya menggabungkan ajaran Plato dan Aristoteles dikenal dengan sebutan neoplatonisme, yang merupakan puncak terakhir dalam sejarah filsafat Yunani. [17] aliran ini bermaksud menghidupkan kembali filsafat Plato. [18] Tetapi itu tidak berarti bahwa pengikut-pengikutnya tidak dipengaruhi oleh filsuf-filsuf lain, seperti Aristoteles misalnya dan aliran Stoa. Sebenarnya ajaran ini merupakan semacam sintesa dari semua aliran filsafat sampai saat itu, dimana Plato diberi tempat istimewa. [19] yang berpengaruh aliran ini adalah Ammonius Saccas. Saccas adalah filsuf yang mengajar di Alexandria, Mesir, pada paro pertama abad ketiga.
Tokoh neoplatonisme yang dianggap representatif ialah Plotinus, murid Ammonius Saccas. Plotinus lahir di Lycopolis, Mesir, pada tahun 205 dan meninggal di Campania pada tahun 270 M. Plotinus berguru pada Saccas selama 11 tahun. ia mempelajari falsafah Yunani sejak berusia 27 tahun, terutama karya-karya Plato. ia datang ke Roma sekitar tahun 244 M dan mengajar falsafah sekitar 25 tahun. plotinus yang berupaya memadukan ajaran Aristoteles dan Plato, hanya saja pada praktiknya, ia lebih condong pada ajaran-ajaran Plato. aliran baru yang dirintisnya mencakup berbagai pemikiran dari berbagai negara dan menjadi pusat bagi peminat falsafah, ilmu, dan sastra.
Plotinus juga mendalami ajaran-ajaran mistik India dan Persia, yang saat itu sedang populer. Plotinus dikenal sebagai guru yang sangat dihormati, bahkan di antara murid-murid Plotinus ada yang mendewakannya. meski demikian, ia tetap bersikap rendah hati. Plotinus tidak berniat mendirikan aliran falsafah sendiri, ia hanya ingin mendalami filosofi Plato, sehingga filosofinya dinamakan neoplatonisme. Plotinus tidak menuliskan ajarannya hingga ia berusia 50 tahun. sebelum Plotinus meninggal, ia mewariskan 54 karangan yang dikumpulkan dan diedit oleh salah satu muridnya, Porphyry, dalam enam kelompok yang dikenal dengan Enneads.
Plotinus menyesuaikan filsafat Plato dalam cara-cara yang penting dan karyanya diterbitkan oleh muruidnya Porphyry (±232-305). filsafat ini kemudian dikenal sebagai neoplatonisme. plotinus percaya bahwa ciptaan melimpah (atau mengalir) dari Yang Esa yang adalah Yang Baik. segala sesuatu yang ada pasti baik, atau memuat kebaikan, kalau tidak ia tidak dapat ada sama sekali. [20]

Pokok-pokok Pemikiran
1.Dialektika
Seluruh sistem filsafat Plotinus berkisar pada konsep kesatuan, yang disebutnya dengan nama “Yang Esa”, dan semua yang ada berhasrat untuk kembali kepada “Yang Esa”. Oleh karenanya, dalam realitas seluruhnya terdapat gerakan dua arah: dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, yaitu: Dialektika menurun (a way down) dan Dialektika menaik (a way up)
2.Emanasi
Jika ajaran Plato berpangkal pada “Yang Baik”, yang meliputi segala-galanya, maka ajaran Plotinus berpangkal pada “Yang Esa”. Menurut Plotinus, “Yang Esa” itulah pangkal dari segala-galanya. Filosofi Plotinus berpusat pada keyakinan bahwa “Yang Esa” adalah satu dengan tidak ada pertentangan di dalamnya. “Yang Esa” adalah “Yang Asal”, dan itulah permulaan dan sebab Yang Esa dari segala yang ada. “Yang Esa” itu sempurna, tidak mencari dan tidak memiliki apa-apa. Dari “Yang Esa” itulah keluar sesuatu dari kemudian mengalir menjadi barang-barang yang ada. Dalam menerangkan munculnya keragaman dari “Yang Esa”, Plotinus menyebutkan dengan emanasi dari Dia. Plotinus inilah Yang Esa kali memunculkan konsep emanasi.
Dalam pandangan filsuf terdahulu, “Yang Asal” disebut Penggerak Pertama. Dalam konsep Penggerak Pertama terdapat dua pemahaman yang dapat dimengerti, yakni yang bekerja dan yang dikerjakan, jiwa dan benda. Penggerak Pertama berada di luar alam lahir dan bersifat transedental. Alam sendiri terjadi atas limpahan dari “Yang Asal” dan yang mengalir tetap merupakan bagian dari “Yang Asal”. Oleh karena itu, “Yang Asal” tidak berada di dalam alam akan tetapi sebaliknya alam berada di dalam “Yang Asal”. “Yang Asal” dan yang mengalir selalu berhubungan, semakin jauh mengalir dari asalnya maka yang mengalir semakin tidak sempurna. Alam bukan ciptaan “Yang Asal”, melainkan terjadi menurut pelimpahan dari-Nya. Alam raya ini adalah bayangan yang tidak sempurna dari asalnya, dan kesempurnaan bayangan alam ini bertingkat sesuai jaraknya dari sumbernya. Proses pemancaran dari “Yang Asal” ini dapat dianalogikan dengan proses pancaran cahaya, semakin jauh pancarannya itu dari sumber cahaya maka semakin redup dan berkurang tingkat kejelasan pancaran cahayanya. Semakin jauh dari sumbernya maka akan semakin redup dan akhirnya gelap. Emanasi alam tidak tunduk dalam dimensi ruang dan waktu, sebab dimensi itu berada pada posisi terbawah dari proses emanasi. Dimensi ruang dan waktu adalah konsep yang terjadi di dunia lahir.
Tahap-tahap Wujud
Salah satu persoalan dasar paling pokok dalam ajaran neoplatonisme adalah bagaimana mendamaikan dua macam hal, yakni “Yang Esa” dan segala macam wujud yang fana, sementara mereka sama-sama tidak mempunyai apa pun yang serupa antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk itu model emanasi, dirancang untuk menjelaskan bagaimana segala sesuatu yang tidak memiliki unsur kesamaan antara satu dengan yang lain, pada saat yang sama, juga benar-benar saling berhubungan. Dengan teori emanasi itulah, akhirnya terdapat apa yang disebut unity of being, kesatuan wujud.
Aristoteles, dalam metafisikanya juga hendak menghubungkan kedua alam itu, sambil berupaya menghindarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam sistem filsafat Plato. Aristoteles menggunakan teori form dan matter, dan kadang teori potensial being dan actual being. Ia mengatakan bahwa form murni (pure form) diambil dari “matter m urni” (pure matter). Atau penggambaran “wujud yang ajaib” diambil dari “wujud yang mungkin”. Jadi form murni (zat yang ada dengan sendirinya) menjadi sumber bagi “benda murni” atau “wujud yang mungkin” (yakni alam yang bisa disaksikan). Dengan begitu, maka Aristoteles telah mencoba menghubungkan kedua macam wujud yang ada, yaitu wujud sempurna yang berdiri sendiri dengan alam lain yang membutuhkannya. Aristoteles juga menekankan bahwa yang sempurna (form murni) menarik “yang tidak sempurna” (alam benda). Alam yang terakhir ini bergerak menuju ke arah wujud Yang Esa, karena ingin menjadi sempurna juga. Jadi menurut Aristoteles, Yang Esa bersifat menggerakkan, dan dengan begitu ia tidak bergerak.
Plotinus yang datang kemudian, juga mencoba menyempurnakan ajaran keterhubungan antara dua wujud tersebut. Hanya saja cara yang ditempuhnya lain. Ia menggunakan pokok pikiran bahwa di antara semua wujud ini, ada wujud tertinggi, yang disebut “Yang Esa” atau “Wujud Tertinggi”, dan ada pula wujud yang terendah, yaitu alam materi. Sementara di antara kedua wujud tersebut, terdapat wujud-wujud yang lain. Menurut Plotinus, wujud keseluruhannya ada empat, yaitu:Yang Esa (to hen), Akal (nous), Jiwa (psykhe), Materi (hyle)
D. Gnostisisme
Gnostisisme (bahasa Yunani: γνῶσις gnōsis, pengetahuan) merujuk pada bermacam-macam gerakan keagamaan yang beraliran sinkretisme pada zaman dahulu kala. Gerakan ini mencampurkan pelbagai ajaran agama, yang biasanya pada intinya mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya adalah jiwa yang terperangkap di dalam alam semesta yang diciptakan oleh tuhan yang tidak sempurna. Secara umum dapat dikatakan Gnostisisme adalah agama dualistik, yang dipengaruhi dan memengaruhi filosofi Yunani, Yudaisme, dan Kekristenan.
Istilah gnōsis merujuk pada suatu pengetahuan esoteris yang telah dipaparkan. Dari sana manusia melalui unsur-unsur rohaninya diingatkan kembali akan asal-muasal mereka dari Tuhan yang superior. Yesus Kristus dipandang oleh sebagian sekte Gnostis sebagai perwujudan dari makhluk ilahi yang menjadi manusia untuk membawa gnōsis ke bumi.
Pada mulanya Gnostisisme dianggap sebagai cabang aliran sesat dari Kekristenan, namun sekte Gnostis telah ada sejak sebelum kelahiran Yesus. Keberadaan kaum Gnostik sejak Abad Pertengahan semakin berkurang dikarenakan pengikutnya memeluk Islam atau akibat dari Perang Salib Albigensian (1209–1229). Gagasan Gnostis kembali muncul seiring dengan bertumbuhnya gerakan mistis esoteris pada akhir abad ke-20 dan abad ke-20 di Eropa dan Amerika Utara.
Usaha dalam mendamaikan pemikiran agama Kristen dan pemikiran Yunani terdapat dalam sebuah aliran yang dinamakan Gnostik. Usaha ini bekerja dengan cara mengambil masing-masing unsur baik dari pihak pemikiran Yunani maupun agama Kristen dan menjadikannya sistem baru.
Gnostisisme dimasukkan sebagai cabang dari agama Kristen, tetapi ada juga teori yang menyatakan bahwa asal sistem Gnostik ada beberapa abad terlebih dahulu sebelum era Kristen, dengan kata lain sebelum kelahiran Yesus.
Alasan yang dapat masuk akal mungkin dikarenakan Gnostisisme tidak memiliki unsur alaminya. Gnostisisme merupakan penggabungan dari banyak sistem kepercayaan. Corak pemikiran yang terdapat pada aliran Gnostik adalah sebagai berikut:
a. Adanya dua kubu antara asas dari segala yang baik yaitu roh dan asas dari segala yang jahat yaitu benda.
b. Adanya penciptaan disebabkan oleh sesuatu yang bersifat rohani, tetapi bukan Allah melainkan sesuatu yang disebut demiourgos.
c. Gnostisisme menetapkan posisi pengetahuan (rohaniah) sebagai hal yang dapat disebut tujuan tertinggi, sedangkan iman adalah pondasinya.

http://aiem-promise.blogspot.com/2012/06/i-dont-care-about-color-of-my-skin-now.html

1 komentar:

Entri Populer